Home » Sejarah Muslimat NU » Sejarah Muslimat NU Sejarah Muslimat NU Sejarah Muslimat NU Kelahiran Muslimat NU Muslimat NU adalah organisasi kemasyarakatan yang bersifat sosial keagamaan dan merupakan salah satu badan otonom Nahdlatul Ulama. Didirikan pada tanggal 26 Rabiul awal tepatnya pada tanggal 29 maret 1946 di Purwokerto. Dimulai dari Muktamar NU ke-13 di Menes, Banten pada hari sabtu pahing, 12 Robiul awal 1357 tepatnya 11 Juni 1938 adalah momen awal gagasan mendirikan organisasi perempuan NU. Eksistensi perempuan NU mulai terlihat setelah dua belas tahun pasca lahirnya NU tepatnya kongres di Menes tahun 1938. Pada kongres tersebut terdapat catatan tentang kiprah para perempuan di forum resmi itu, sehingga acara kongres itu menjadi tonggak penting lahirnya Muslimat NU. Dalam kongres itu, untuk pertama kalinya tampil seorang anggota Muslimat NU di atas podium berbicara tentang perlunya wanita NU mendapat hak yang sama dengan kaum laki-laki dalam menerima didikan agama melalui organisasi NU. Dua tokoh perempuan yakni Hj Siti Djunaesih dari Bandung dan Hj. Siti Sarah dari Menes. Mereka tampil sebagai pembicara di forum tersebut mewakili jamaah perempuan. Hj Djunaesih secara tegas dan lantang meyampaikan gagasan yang sudah dirumuskan setahun yang lalu: “Di dalam agama Islam bukan saja kaum laki-laki yang harus dididik mengenai pengetahuan agama dan pengetahuan lain. Kaum perempuan pun wajib mendapatkan didikan yang selaras dengan kehendak dan tuntutan agama. Karena itu kaum perempuan NU mesti bangkit (Dr. Sri Mulyati, 2011)”. Sambutnya berapi-api yang membuat para peserta muktamar terpana disela gemuruh tepuk tangan. Ia juga menyampaikan filosofi berdirinya organisasi perempuan NU sebagai suatu perkumpulan yang memiliki tujuan untuk mendidik umat islam tentang ajaran agama secara luas yakni tentang menuntut ilmu yang hukumnya wajib untuk semua orang baik itu laki-laki maupun perempuan sebagaimana yang telah ditetapkan Allah SWT dalam Al Qur’an maupun Hadits مَنۡ عَمِلَ صَٰلِحٗا مِّن ذَكَرٍ أَوۡ أُنثَىٰ وَهُوَ مُؤۡمِنٞ فَلَنُحۡيِيَنَّهُۥ حَيَوٰةٗ طَيِّبَةٗۖ وَلَنَجۡزِيَنَّهُمۡ أَجۡرَهُم بِأَحۡسَنِ مَا كَانُواْ يَعۡمَلُونَ “Barangsiapa yang mengerjakan amal saleh, baik laki-laki maupun perempuan dalam keadaan beriman, maka sesungguhnya akan Kami berikan kepadanya kehidupan yang baik dan sesungguhnya akan Kami beri balasan kepada mereka dengan pahala yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan”. (Q.S. Al-Nahl/16:97) Dan hadits riwayat Ibnu Majah no. 224 طَلَبُ الْعِلْمِ فَرِيْضَةٌ عَلَى كُلِّ مُسْلِمٍ “Menuntut ilmu itu wajib atas setiap Muslim.”(Ibnu Majah) Ia menjadi perempuan pertama yang naik mimbar dalam forum resmi Nahdlatul Ulama. Setahun kemudian, tepatnya pada Muktamar NU yang ke-14 di Magelang 1939, rumusan pembentukan organisasi perempuan NU dimunculkan dan dibahas kembali. Pada muktamar itu pembahasan sudah lebih maju karena sudah mulai dibentuk komisi bidang perempuan yang dipimpin Nyai Hj Djunaesih yang waktu itu dihadiri oleh perwakilan daerah masing-masing seperti Sukareja, Kroya, Wonosobo, Surakarta, Magelang, Parakan, Bandung, dan lain sebagainya (Dr. Sri Mulyati, 2011). Pembahasan pada komisi ini ternyata melahirkan pemikiran kritis dari berbagai utusan Muslimat yang pada saat itu tergerak oleh tulisan pemuda Soekarno atau Bung Karno yang mencetuskan pemikiran kesetaraan gender. Selain tulisan artikel Soekarno, kebangkitan rakyat melawan penjajah memiliki pengaruh langsung bagi pergerakan perempuan yaitu mulai munculnya sekolah khusus perempuan (Dr. Sri Mulyati, 2011). Sehingga perempuan Muslimat NU mulai memiliki kesadaran untuk turut serta meningkatkan kualitas hidup perempuan. Seperti yang disampaikan berbagai utusan muslimat, Sodah misalnya utusan dari Bandung menyampaikan: “Alasan mengapa perempuan harus keluar rumah jika ternyata bisa memberikan kemaslahatan masyarakat sekitarnya (Dr. Sri Mulyati, 2011).” Dilanjut utusan dari Wonosobo, Badriyah menyampaikan: “Tentang azas dan tujuan organisasi sangat mutlak harus dirumuskan apalagi Muslimat NU akan terus berkembang (Dr. Sri Mulyati, 2011).” Utusan dari Banyumas, Sulimah menyampaikan: “Menjelaskan tentang peranan kaum ibu yang sangat penting dalam perkembangan pendidikan anak. Kecerdasan anak dan nasib pendidikan anak sangatlah dipengaruhi oleh latar belakang pendidikan sang ibu. Jika ibu tidak memiliki ilmu pengetahuan, bagaimana mereka dapat mendidik anak-anaknya dengan baik. Sebaik-baik sekolah (Madrasah) didunia ini adalah kaum ibu (Dr. Sri Mulyati, 2011).” Utusan dari Kroya Jawa Tengah, Alfiah menyampaikan: “Kaum ibu merupakan pendidik pertama bagi anak-anaknya sehingga dapat mencetak generasi muda yang kelak bermanfaat bagi nusa dan bangsa (Dr. Sri Mulyati, 2011).” Dan utusan dari Parakan, Istiqomah menyampaikan tafsir Al-Qur’an tentang peran perempuan dalam islam, penyampaiannya sangat menarik karena dikemukakan menggunakan bahasa jawa yang pada intinya: “Kaum Muslimat NU berharap berdiri organisasi yang bisa mewadahi mereka untuk berkembangnya dalam segala hal yang pada akhirnya akan menguntungkan umat dan bangsa (Dr. Sri Mulyati, 2011).” Muktamar NU ke-14 di Magelang ternyata juga belum membuahkan hasil yang menyetujui terbentuknya organisasi perempuan NU. Maka pada Muktamar NU ke-15 di Surabaya yang diselenggarakan pada tanggal 9-15 Desember 1940 kaum perempuan hadir dan masing-masing telah membawa surat mandat NU setempat. Melihat semangat kaum perempuan pada saat itu , akhirnya panitia muktamar memberi kewenangan kepada kaum ibu untuk memimpin rapat umum. Selain mereka boleh menghadiri Muktamar NU para perempuan NU itu juga disediakan tempat untuk mengadakan rapat tertutup dan terbatas (Dr. Sri Mulyati, 2011). Rapat tertutup diselenggarakan pada hari selasa tanggal 10 Desember 1940 di Madrasah NU Bubutan Surabaya. Rapat dipimpin oleh Nyai Djunaesih yang menghasilkan keputusan penting bagi pergerakan perempuan NU di masa depan. Ada enam usulan penting tetapi hanya lima usulan yang disetujui, yaitu: pengesahan Nahdlatul Oelama Muslimat (NOM) oleh Muktamar NU, pengesahan Anggaran Dasar NOM, dibentuknya Pengurus Besar NOM, menetapkan daftar pelajar tingkat Madrasah Banat, rencana menerbitkan majalah bulanan NOM. Keputusan rapat tertutup dibacakan langsung dihadapan panitia pengarah, pengesahan Muktamar tentang keberadaan NOM juga menghasilkan susunan nama-nama yang masuk ke PB NOM, salah satunya yakni ketua umum yang dinahkodai Nyai Hindun dan wakil Nyai Djunaesih (Dr. Sri Mulyati, 2011). Akhirnya pada tanggal 29 Maret 1946, bertepatan pada Rabiul Akhir 1365 H, keinginan perempuan NU untuk berorganisasi diterima secara bulat oleh para utusan Muktamar NU ke-16 di Purwokerto. Hasilnya dibentuklah organisasi perempuan dengan nama Nahdlatul Oelama Muslimat (NOM). Hari inilah yang kemudian diperingati hari lahir Muslimat NU sampai sekarang. Berdirinya NOM ini tak terlepas dari dinamika pemikiran ulama kharismatik yang menjadi promotor dan memiliki pengaruh besar dalam mendinamisasi peserta Muktamar yang ketika pada saat itu masih pro dan kontra terhadap keberadaan organisasi perempuan. Para ulama yang menjadi promoter berdirinya Muslimat NU antara lain : KH. Abdul Wahab Hasbullah, KH Moh Dahlan, dan KH. Saifuddin Zuhri. Muktamar ini juga mengangkat Nyai Chadijah Dahlan menjadi Ketua umum NOM (Dr. Sri Mulyati, 2011). Ada dua faktor yang mendorong berdirinya NOM, faktor internal dan eksternal. Faktor internal yang mendorong NU sebagai organisasi induk mendirikan NOM karena melihat posisi strategis kaum ibu dalam ikut mentradisikan dan mempertahankan ajaran Ahlussunnah Wal Jama’ah dalam kehidupan sehari-hari. Faktor eksternal sejak tahun 1917 di Indonesia telah muncul organisasi perempuan seperti Aisyiyah, Persistri (Perempuan Islam Indonesia), PSII (Persatuan Syarikat Islam Indonesia), maupun perempuan Al Irsyad. NOM lahir untuk memenuhi tuntutan zaman terhadap peran serta perempuan dalam menapaki kemerdekaan (Dr. Sri Mulyati, 2011). Seiring berjalannya waktu, pada Muktamar NU ke-18 pada 3 Mei 1950 di Jakarta mulai muncul kemajuan pemikiran dan gerakan NOM yang diketuai oleh Nyai Mahmudah Mawardi dari Solo. Atas dasar prestasi dan kiprahnya yang demikian, Muktamar NU ke-19 pada tanggal 28 april- 1 mei 1952 di Palembang yang menjadi tonggak naiknya status NOM yang semula semi otonom menjadi badan otonom. Yang membawa implikasi perubahan nama yang awalnya NOM berubah menjadi Muslimat NU. Perubahan status itu membawa implikasi secara struktur Muslimat NU sehingga lebih mudah mengembangkan dirinya, baik dalam hal pengembangan kelembagaan, jaringan maupun pengembangan program di masyarakat (Dr. Sri Mulyati, 2011). Sejak menjadi badan otonom, Muslimat NU lebih bebas bergerak menjalankan program-programnya seperti Manajemen organisasi, bidang politik, sosial dan kesehatan, bidang ekonomi, bidang dakwah dan yang paling penting adalah di bidang pendidikan. Dunia pendidikan memang tidak bisa dipisahkan dari Muslimat NU. Peran muslimat NU dalam bidang pendidikan adalah pemberantasan buta huruf dikalangan masyarakat dan setiap cabang Muslimat NU wajib mendirikan sekolah taman Kanak-kanak. Ketua Muslimat NU pada masa kemasa yaitu: Nyai Hj. Hindun (1940-1946) Nyai Hj. Chodijah Dahlan (1946-1950) Nyai Hj. Mahmudah Mawardi (1950-1979) Nyai Hj. Asmah Sjachruni (1979-1995) Nyai Hj Aisyah Hamid Baidlowi (1995-2000) Hj. Dra. Khofifah Indar Parawansa (2000-Sekarang) Media Previous Article𝐏𝐫𝐞𝐬𝐭𝐚𝐬𝐢 𝐆𝐞𝐦𝐢𝐥𝐚𝐧𝐠 𝐊𝐨𝐧𝐭𝐢𝐧𝐠𝐞𝐧 𝐘𝐏𝐌 𝐍𝐔 𝐊𝐚𝐛𝐮𝐩𝐚𝐭𝐞𝐧 𝐓𝐞𝐠𝐚𝐥 No Newer Articles July 10, 2024